Film telah lama menjadi media komunikasi terbesar abad ini, berbagai genre telah lahir selama proses yang berlangsung. Media yang satu ini mendadak dinikmati semenjak kehadirannya pada tahun 1878 oleh Edward Muybridge dari Stanford University, penemuan ini hadir dari rasa penasarannya apakah sebuah foto kuda yang berlari dapat dihadirkan dengan keempat kakinya berada pada posisi melayang bersamaan ketika berlari? Maka dari itu ia mencoba membuat serentetan 16 foto (frame) kuda yang sedang berlari dan menggerakkannya dengan memutar gambar tersebut. Semenjak itu dikenal media bernama film.
Dalam kurun waktu beberapa dasawarsa muncul pula beberapa jenis film, dari komedi hingga action, dari horror hingga drama. Namun dari beberapa jenis/ genre tersebut ada suatu genre yang minim biaya produksinya namun sarat akan pendidikan moral dan keilmuan, yaitu genre dokumenter. Dokumenter muncul ketika John Grierson menanggapi film-film karya Robert Flaherty, ia berkata film buatan Robert merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality). Tanggapan inilah yang memulai sebuah definisi dari dokumenter itu sendiri, merupakan awal dari definisi tentang film dokumenter oleh Paul Rotha, Paul Wells, Frank Beaver dan banyak lainnya.
Malam minggu kemarin saya secara tidak sengaja berhenti pada sebuah stasiun televisi, disana menyiarkan beberapa kelompok tim yang mempresentasikan karyanya. Karya apa? ya! film dokumenter, itulah karya yang mereka presentasikan. Acara tersebut adalah Road to EAGLE Award, begitu banyaknya pembahasan yang mereka angkat dalam film dokumenter mereka, dari yang sifatnya meluas hingga yang kontroversial (menurut saya). Peserta yang hampir semuanya adalah anak muda, mengingatkan bahwa seorang pemuda adalah saat-saat dimana pertanyaan tentang kebenaran hidup mulai diperjuangkan, memilah-pilah mana yang benar dan salah. Semangat mereka begitu inspiratif dan patut diduplikasi, semangatnya bukan karyanya. Dari beberapa film tersebut akhirnya dipilih 5 finalis untuk mengikuti jenjang berikutnya.
Film dokumenter merupakan sebuah penyampaian fakta yang terjadi dilingkungan sekitar kita tanpa ada unsur penambahan apapun. Ira Konigsberg menyatakan:” Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.”. Itulah arti sebenarnya dari film dokumenter, film yang menyibak tabir sosial yang menghalangi kita setiap harinya, menyingkap kebenaran yang selama ini tersimpan manis dalam acara Idol dan music lypsinc pada televisi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Perlu ditingkatkannya minat dari penikmat film dokumenter terbilang harus dicoba, dengan ini masyarakat akan melihat dari sudut pandang lain. Kaum-kaum minoritas akan tersorot jelas dan menjadi perhatian, sehingga akan memancing jiwa sosial dari para penikmatnya. Karena disini pembuat/ sutradara menyampaikan apa adanya realitas dari masyarakat, tanpa rekayasa dan penambahan disana-sini. Sehingga wawasan-lah yang dihadirkan disini. Selain minat, perlunya peningkatan pelaku utama (pembuat) dalam hal ini bisa membuat bertambahnya jumlah film dokumenter ini.
Mereka para-para pelaku utama dapat disebut sebagai pencerdas masyarakat, karena dari dia akan terlihat potret sebenarnya dari sebuah negeri yang ditinggalinya.
best regards,
sangterasing
Saya salut sama film-film dokumenter, mereka lebih murni dan tanpa menyerah pada permintaan pasar.
LikeLike
Isi pesan dan idealisme yang dipegang menjadi modal yang mahal bagi mereka, jadi termotivasi utk berpartisipasi mas.. yuk 😀
LikeLike
Terima kasih kunjungannya. Jadi tambah lagi kenalan situs film
LikeLike
Sama-sama mas, saya juga masih belajar..
semoga bermanfaat 🙂
LikeLike
film dokumenter itu sarat pesan moral, tapi masih sedikit yang menyukainya…
sedangkan film “tidak mutu” yang (mungkin) hanya berorientasi pada profit, malah banyak yang menontonnya, apalagi sekarang makin banyak suguhan berbau “panas”… hmmm.. ironis memang.. 😦
LikeLike
Kenyataan menyedihkan, padahal film bisa dijadikan media edukasi yang menarik.
🙂
LikeLike