Pagi itu Emen dan Paimin pergi ke Kali desa sebelah, disana terdapat batu besar yang biasa mereka jadikan tempat “nongkrong bareng”. Hari itu hari minggu memang, jadi mereka bisa seenaknya menghabiskan waktu senggangnya bersama lagipula ini kesempatan baik untuk menghirup udara pagi yang lama tak Emen rasakan.

Ya, Emen baru pulang dari Kalimantan tempat kerja barunya. Seusai kuliah Emen langsung melamar kerja di sana tanpa sepengetahuan Paimin, agak kesal memang.. tapi yang namanya sahabat tak akan lama-lama bertengkar hebat. Baru dua hari sejak Jum’at lalu Emen datang dari tempat kerjanya, dan kesempatan pulang sekali selama sebulan digunakannya sebaik mungkin.

“Min, bener-bener bagus ya udara hari ini..” Emen memulai percakapan ringan.

“Bener banget, gini nih yang gak bakal ditemuin dikota-kota. Kalo di tempat kerjamu ada gak tempat kayak begini?” Tanya Paimin.

“Ya ada lah pasti, tapi aku gak tau dimana… digunung-gunung banyak mungkin. Tapi beda sama disini laah, banyak kawan, suasananya udah akrab, aromanya khas.”

“Halah, bahasamu rek. Tapi walau seindah apapun suasana, kalau suasana hati gak enak ya sama saja.”

“Maksudmu? Masa’ suasana enak seperti ini bisa menjemukanmu. Apa kau ada masalah?”

“Masalah mah pasti selalu ada Men, masalah kerja, ,rekan kerja, keluarga, kekasih.”

“Duileeeh, kekasih!!! Memangnya sudah punya.” Goda Emen kepada temannya.

“Hahaha… Bercanda, bercanda. Ini loh, masalah kerjaan sama keluarga.” Paimin memulai topic curhatannya.

“Lho, bukannya kamu udah kerasan di tempat kerjamu ya?” Tanya Emen.

“Iya, tapi aku mau pindah. Sedangkan keluargaku nggak setuju, soalnya ya mungkin karena kerjanya jauh dari rumah.” Jawab Paimin.

“Wah..wah.. sudah – sudah, aku jangan jadi tempat curhat lagi. Sudah mumet aku denger ocehanmu.” Emen, menghentikan topik yang dirasa kurang mengenakkan.

“Yah, kowe iki. Temanmu ini dirundung masalah, mbok ya didengarkan keluhannya.”

“Bukan begitu, kamu terus-terusan curhat juga gak bakal selesai urusannya.”

“Tapi Men, curhat itu meghilangkan gundah-gulana, resah dan gelisah lho.”

“Ya iya mungkin, tapi kan gak selesai masalahmu. Mau tau curhat yang bisa nyelesaian masalah? Curhat noh sama Allah.

“Lho, curhat sama Allah? Emang bisa?” Tanya Paimin.

“Gimana mau curhat, emang kalau aku curhat Allah bakal bales?”

“Lho, ya katanya mau curhat. Bukan minta dinasehati kan? Kalo minta dinasehati ya aku bisa bantu. Tapi kalo mw sekedar curhat aku sarankan ke Allah saja langsung.”

“Lho kok gitu?” Paimin keheranan.

“Lha iya, kowe kan sering banget curhat sama aku. Trus kalau aku nasehati, kowe malah cemberut ga jelas. Nah, itu artinya apa? kowe berarti kan gak perlu nasehat, cuma perlu orang yang dengerin kowe.”

“Nah, trus apa hubungannya dengan curhat sama Allah?” Paimin masih sulit menangkap maksud sahabatnya.

“Maksudnya iki lho, kalau kowe curhat sama Allah… Allah pasti akan terus dengerin kowe, gak bakal bosen, capek, bête sama ocehan kowe yang puaanjaaaaangg tenan.” Usik Emen.

Bwaduh, ada-ada saja kowe. Memangnya sepanjang apa curhatanku, sampai-sampai ngomongnya panjang beneerr..” Balas Paimin.

“Nah, makanya aku saranin kowe curhat sama Allah. Insya Allah masalahmu kelar.” Lanjut Emen.

“Tapi nih ya, aku masih kurang mudeng sama teori sampeyan. Bagaimana bisa selesein masalah, kalo aku curhat sama Allah dan gak dikasih solusi apa-apa.”

“Emang kalo kowe curhat sama aku, terus aku kasih solusi pasti kowe jalanin?” Tanya Emen.

“Hmm… ya tak pikir-pikir dulu, kemungkinannya bagaimana.”

“Nah!!!” Teriak Emen.

“Waduh! Kowe bikin kaget aku aja.” Protes Paimin.

“Haha.. guyu dikit laah, sampeyan serius banget sih. Kesimpulannya, kalau kowe curhat sama siapapun yang mutusin bakal ngelakuin ya sopo? Ya kowe laah. Berarti, seseorang itu ketika curhat, cuma perlu orang yang ngedengerin curhatan mereka. Kalau masalah minta solusi, itu balik lagi ke diri masing-masing bagaimana menyikapi masalah itu.” Jelas Emen.

“Owh, begitu ya men, masuk akal juga ocehanmu itu. Benar juga sih, kalau aku curhat terus malah dinasehatin, jadi gondok juga.”

“Itu kowe paham. Memang ya Min, otakmu iku kadang-kadang gak sampe kalau denger omongan yang berat.” Goda Emen.

“Enak saja, gini-gini otak ciptaan Allah Men. Kalau kowe ngejek, berarti ngejek ciptaan Allah.” Balas Paimin.

“Haha.. guyon aku. Ojo dimasukkan ke dalam hati, sensitif kowe.”

“Berarti mulai sekarang, aku curhat sama Allah nih?”

“Ya iya betul! Walau kalau kowe ada apa-apa, ya silahkan bilang ke aku, Insya Allah siap mendengarkan.”

“Haha, memang kowe sahabatku yang paling baik.”

“Bisa saja kowe. Tapi jangan lupa, selain curhat kowe juga sering-sering minta sama Allah. Dia seneng lho sama hambaNya yang sering meminta.”

“Wah, kalo itu enggak usah dikasih tau Men. Aku udah sering berdoa sama Allah, supaya cepet-cepet dikasih jodoh. Hahaha…” Balas Paimin.

“Haha.. kalo iku aku nitip do’a juga Min!”

Keduanya tertawa lepas menyambut gurauan Emen. Topik seperti ini selalu membuat mereka geli. Diatas bebatuan yang bermacam bentuk, kedua sahabat itu bercanda ria mengenang beberapa memori yang lama tak mereka bagi. Gemericik air menyalip diantara bebatuan, kilat cahaya pantulan dari matahari melengkapi warna pagi hari itu, menambah kelengkapan coraknya.

best regards,
sangterasing

image source: 1, 2

6 thoughts on “Curhat sama Allah? Emang bisa?

  1. “Bisa saja kowe. Tapi jangan lupa, selain curhat kowe juga sering-sering minta sama Allah. Dia seneng lho sama hambaNya yang sering meminta.”

    penggalan kalimat percakapan yang sangat sederhana namun sarat dengan pesan, sebagai manusia harus mengadu persoalan kepada Allah, salam kenal dari saya 🙂

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.