Indonesia merupakan negara yang besar, dari segi geografis maupun ekonomi. Ekonomi negara ini mulai berkembang dewasa ini, terbukti ketika krisis besar melanda Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya, masyarakat disini masih dengan aman menjalankan “kereta” ekonominya. Walau tidak dapat dipungkiri pasti ada masalah disana-sini, tapi itu semua bisa diatasi dengan baik.

Tentunya semua keberhasilan dalam menahan arus ekonomi global yang sangat deras itu disebabkan karena anak-anak mudanya yang senantiasa kreatif dan reaktif. Kreatif dalam menyelesaikan masalah dan reaktif atas sesuatu yang kurang baik. Coba saja lihat wirausaha-wirausaha yang telah lahir di negara ini beberapa tahun belakangan, kebanyakan dari mereka di”gawangi” oleh anak-anak mudanya.

Kita ambil contoh Keripik “Maicih”, merek keripik itu sangat popular beberapa tahun belakangan ini. Dan pemilik serta pencetusnya adalah Dimas Ginanjar Merdeka (23) yang telah sukses dengan usahanya walau baru berumur kurang lebih 2 tahun.

Satu lagi anak muda yang sukses adalah Iwan Agustian, sang Pendiri “Semerbak Coffee”. Dengan modal hanya 3 juta, ia memulai usahanya dan alhasil sekarang ia telah mendirikan hingga 300 outlet.

Masih banyak lagi contoh anak-anak muda Indonesia yang berbakat, belum lagi terakhir kita telah mendengar kehebatan anak-anak SMK yang sudah dapat membuat mobil, serta mesin-mesin besar lainnya.

Namun sepertinya jejak-jejak langkah para muda-mudi ini tidak sepenuhnya menjadi inspirasi bagi muda-mudi lainnya. Masih banyak… -hem, masih sangat banyak maskud saya- muda-mudi yang mengambil contoh-contoh yang bukan dari negara sendiri. Sudah jarang terlihat muda-mudi yang bersikeras memikirkan tentang problem sosial sekitarnya, atau usaha-usaha yang mungkin dibangunnya. Kebanyakan dari mereka hanya menjadi konsumen buta atas iklan-iklan media yang menyilaukan. Didukung dengan “kantong” orang tuanya mereka senantiasa menghamburkan biaya yang kebetulan disediakan. Kebanyakan dari mereka latah atas budaya yang “ditawarkan” trend pasar.

Mari ambil satu sample saja tentang trend “latah” dikalangan muda-mudi. Sekitar tahun 2008 produk yang mensupport musik untuk dimainkan secara mobile diperkenalkan. Produk bernama IPod muncul di pasaran menggeser Walkman yang sebelumnya telah dikalahkan dengan Discman. Secara massive anak-anak muda membeli produk IPod tersebut, bahkan tidak segan-segan muncul produk MP4 yang berbentuk IPod tersebut.

Arus “latah” pun makin merembet ke gadget lainnya yang masih baru-baru ini “meledak”. Hal itu adalah smartphone, produk ini didukung oleh perusahaan-perusahaan gadget (AT&T, Samsung, Sony Ericsson, HTC) yang sudah lama bermain dipasaran mobile phone. Ketika mulai diperkenalkan smart phone berjenis QWERTY, ditambah lagi dengan makin bermunculannya merk BlackBerry, GALAXY, XPeria menambah maraknya kaum muda untuk berlomba-lomba mendapat produk tersebut. Puncaknya adalah peristiwa kisruh BlackBerry kortingan di Pasific Place pada tanggal 25 November 2011. Pihak RIM mengkorting harga penjualan BlackBerry Bellagio sebesar 50%, dari harga Rp4.699.900 menjadi Rp2.295.000. Alhasil para pembeli meringsek masuk ke stand penjualan yang akhirnya menyebabkan beberapa orang terinjak-injak, bahkan luka-luka. Tidak main-main, berita ini hingga tersebar ke luar negeri bahkan Indonesia sempat dijuluki sebagai “BlackBerry Nation” dikutip dari liputan media luar. Hal ini mencerminkan betapa “latah” nya kaum muda Indonesia, terutama latah yang konsumtif. Padahal jika ditelaah, masyarakat Indonesia tidak terlalu perlu dengan Smartphone tersebut. Disaat negara lain sudah berpindah membeli iPhone dan ponsel Android, tapi Indonesia ternyata masih menjadi pasar terbesar bagi penjualan Blackberry. (Kompas)

Dan pengamatan terakhir saya mengenai “kelakuan” anak muda sekarang ini adalah “demam” Boy Band dan Girl Band yang nyatanya diadopsi dari Korea (K-Pop). Bermacam-macam Boy Band muncul dengan musikalitas yang pas-pasan di panggung-panggung music Indonesia. Kiranya saya tidak perlu membahas tentang hal ini.

Memang budaya seperti ini tidak bisa dihindari, nyatanya para penemu sebenarnya juga “latah” terhadap ilmuan lainnya untuk menemukan hal-hal baru. Namun untuk konteks disini, para penemun “latah” dalam hal yang baik, yaitu “latah” kreatifitas.

Sekiranya para pemuda/i Indonesia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menghasilkan sesuatu yang kreatif, saya yakin Indonesia akan bisa mengalahkan Jepang, bahkan Amerika sekalipun. Didukung dengan SDM yang kompeten dan ruang gerak yang tidak terbatas, muda-mudi bisa berkreasi sebisa mungkin.

 

best regards,
sangterasing

 

image source: 1, 2, 3, 4

7 thoughts on “Budaya Latah

  1. Budaya latah ini mematikan kreatifitas pemuda-pemudi. Sekarang saya inginnya melawan arus, saat orang latah dengan gadget-gadget canggih saya memilih yang biasa saja..
    🙂

    Like

  2. Assalamualaikum, itulah mereka yang kebanyakan mempertuhankan dunia. Dan mereka berfikir “gimana memanfaatkannya”, bukan berfikir “gimana menciptakannya” sehingga hidupnya penuh dengan kemanja’an.

    Creative = Create Active

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.