Lagi-lagi pengalaman di perjalanan pulangku mempunyai pesan tersendiri didalamnya. Kemarin, sepulang saya dari kantor ada pemandangan yang biasa terjadi pada pejabat umumnya. Walau mereka (pejabat) menyadari kepadatan pengendara Jakarta, tidak jarang yang tetap memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan jalur yang lancar. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan iring-iringan.

Kita sadari penggunaan iring-iringan (voorijder) makin menyebalkan belakangan ini. Dari yang menerobos lampu merah, memakai jalur Busway, hingga mengambil jalur yang berlawanan arah. Penggunaan voorijder bagi saya adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan pemerintah dalam memakai kekuasaannya. Kejadian kemarin sore mempertegas pendapat saya.

Sepulang dari kantor, seperti biasa saya disambut mesra oleh macet di daerah Jl. Antasari. Kemacetan disana seolah-olah abadi, terlebih akibat proyek jalan layang non-tol yang sedang dibangun. Namun semoga setelah selesainya jalan layang tsb, macet bisa “terurai” (kata salah satu CaGub *halah). Disela-sela kemacetan, beruntung saya yang memakai motor bisa mudah melaju diantara mobil-mobil, tiba-tiba saya mendengar bunyi sirine. Betul saja! iring-iringan (voorijder) pejabat sedang merangsek lewat di antara para pengemudi, seolah tidak memperdulikan kemacetan yg terjadi.

Voorijder tersebut memaksa memakai jalur yang berlawanan arah, padahal jalur tersebut tidak kalah macetnya. Namun mereka tetap memaksa, dan akhirnya kami (baca: rakyat) mengalah minggir. Kadang saya bertanya-tanya, siapakah yang berjiwa pemimpin? Para pejabat yang banyak memaksakan kehendak, ataukah rakyat yang seringkali mengalah?

Setelah voorijder tersebut lewat, ada hal yang miris bagi saya. Ternyata jauh dibelakang voorijder tersebut terdapat ambulance yang juga buru-buru (terlihat dari sirinenya) terjebak diantara kemacetan tersebut. Para pengendara lain karena “kadung” memperhatikan voorijder tadi, jadi (mungkin) tidak menyadari ada ambulance yang saya yakin sedang terburu-buru, entah menjemput pasien, atau ada panggilan darurat yang menyangkut jiwa seseorang. Alhasil pengemudi ambulance tadi terpaksa mengalah pada kemacetan tersebut, ikut “merangkak” bersama kendaraan lain sementara voorijder tadi dengan mulus “melenggang”, memaksa lewat diantara kemacetan.

Dari penggalan kisah disore hari tsb, saya mengambil sebuah pelajaran. Bahwa tidak semua pemimpin berjiwa pemimpin, kadang banyak yang masih berjiwa kekanak-kanakan dalam kepemimpinannya, memaksakan kehendak, tidak “peka” terhadap sekitar dan merasa ia paling penting diantara yang lainnya. Padahal jika pejabat tersebut adalah pejabat yang berjiwa pemimpin, ia harus ikut “merangkan” merasakan kondisi rakyatnya. Bahkan lebih baik lagi jika ia mempersilahkan membantunya ambulance tersebut agar bisa jalan dengan mulus, atau minimal mempersilahkan ambulance tersebut untuk mendahului. Dengan begitu, sifat-sifat seorang pemimpin bisa ditularkan ke masyarakat yang dipimpinnya.

Semoga pemimpin-pemimpin Indonesia bisa lahir dari para pemudanya yang tak lelah meniti cita-cita mulia. Sebagai bibit unggul harapan bangsa, dan semoga juga semangat para pemuda ini menggugah para pemimpin-pemimpin senior untuk berbuat lebih baik lagi untuk negeri.

best regards,

sang terasing

image source: 1, 2

9 thoughts on “Voorijder | Sebuah Potret Kepemimpinan

  1. Situasi yang baik, akan tercipta jika individu-individu yang ada di dalamnya berlaku yang baik juga. Kondisi yang sejahtera bagaimana pun adalah hasil kolektif dari masing-masing individu.

    Like

    1. Disadari perlu andil yang besar dari tiap individu jg dalam memperbaiki kondisi sosial masyarakat. Saya jg pernah tertarik pada konsep “Berdaya Bareng-bareng”-nya Pak Faisal, mengena. :))

      Like

      1. Jelas Mas. Jikalau kita masih saja individualistis, ingin senang sendiri, semua rencana besar itu hanya akan jadi mimpi semata.

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.